DPR Usul Naikkan Free Float di Bursa Efek Indonesia: Langkah Menuju Pasar Modal yang Lebih Likuid dan Kompetitif

Pendahuluan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi XI baru-baru ini mengusulkan agar minimum free float saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dinaikkan secara signifikan, dari sebelumnya sekitar 7,5% menjadi 30%.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya memperdalam pasar modal Indonesia, meningkatkan likuiditas perdagangan saham, serta memperkuat kepercayaan investor domestik maupun asing terhadap stabilitas dan transparansi pasar Indonesia.

Namun, di balik usulan ini terdapat beragam dampak dan tantangan yang perlu dipertimbangkan. Mari kita bahas secara komprehensif mengapa DPR mengusulkan kebijakan ini, bagaimana respons otoritas pasar, serta apa konsekuensinya bagi emiten dan investor.


Apa Itu Free Float dan Mengapa Penting?

Free float adalah istilah yang menggambarkan porsi saham yang dimiliki oleh publik dan dapat diperdagangkan secara bebas di pasar.
Saham yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali, direksi, komisaris, atau investor strategis jangka panjang tidak termasuk dalam perhitungan free float.

Misalnya, jika sebuah perusahaan memiliki 10 miliar saham beredar dan 8 miliar di antaranya dikuasai oleh pemegang saham pengendali, maka free float perusahaan tersebut hanya 20%. Artinya, hanya 2 miliar saham yang benar-benar beredar di pasar dan bisa diperjualbelikan secara aktif.

Free float sangat penting karena:

  • Meningkatkan likuiditas perdagangan saham.
  • Memudahkan investor besar masuk dan keluar tanpa mengganggu harga terlalu signifikan.
  • Membantu pembentukan harga saham yang wajar dan efisien.
  • Meningkatkan daya tarik pasar modal bagi investor institusi dan asing.

Dengan kata lain, free float adalah indikator vital untuk menilai seberapa “hidup” suatu saham di pasar.


Latar Belakang Usulan DPR

Selama ini, BEI menetapkan minimum free float 7,5% sebagai syarat bagi perusahaan untuk tetap tercatat di papan utama maupun papan pengembangan.
Namun, DPR menilai angka ini terlalu rendah dan tidak mencerminkan pasar modal yang likuid dan kompetitif.

Menurut anggota Komisi XI DPR, Misbakhun, standar free float Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, yang telah menetapkan minimum free float antara 25% hingga 30%.

“Jika kita ingin pasar modal Indonesia naik kelas dan menjadi tujuan investasi global, maka standar free float harus ditingkatkan secara signifikan,” ujar Misbakhun dalam rapat dengan OJK di Senayan, Jakarta.

Selain itu, DPR menilai bahwa rendahnya free float juga menyebabkan banyak saham sulit diperdagangkan. Volume transaksi di BEI memang besar, tetapi hanya terpusat pada sebagian kecil emiten dengan likuiditas tinggi, sementara ratusan saham lain relatif “mati suri”.


Tujuan Kenaikan Free Float

Ada beberapa tujuan utama dari usulan DPR ini, yaitu:

1. Meningkatkan Likuiditas Pasar Modal

Dengan lebih banyak saham beredar di publik, perdagangan akan lebih aktif. Investor akan lebih mudah membeli atau menjual saham tanpa khawatir pergerakan harga terlalu ekstrem.

2. Mendorong Tata Kelola yang Lebih Baik

Perusahaan dengan pemegang saham publik yang lebih besar akan cenderung lebih transparan dan akuntabel. DPR menilai hal ini akan memperkuat tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance).

3. Meningkatkan Daya Tarik Investor Asing

Investor global cenderung menghindari saham dengan likuiditas rendah. Dengan menaikkan free float, saham Indonesia menjadi lebih menarik bagi dana asing yang mencari pasar likuid dan transparan.

4. Menambah Pendalaman Pasar Modal

Free float tinggi berarti lebih banyak masyarakat yang memiliki saham. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan dan memperluas basis investor ritel.


Respons OJK dan Bursa Efek Indonesia

Menanggapi usulan DPR, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyambut baik gagasan tersebut namun menekankan perlunya penerapan secara bertahap agar tidak menimbulkan guncangan di pasar.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, menyatakan:

“Kami mendukung peningkatan free float, tetapi perlu tahapan yang realistis agar tidak menimbulkan tekanan bagi emiten kecil.”

Sementara itu, Direktur Utama BEI, Iman Rachman, juga mengonfirmasi bahwa pihak bursa tengah mengkaji skenario penerapan kebijakan baru ini, termasuk kemungkinan diferensiasi antara emiten baru dan lama, serta periode transisi multi-tahun.

Kemungkinan besar, kenaikan akan dilakukan secara bertahap, misalnya:

  • Tahun 2026: minimum naik menjadi 10–15%
  • Tahun 2027: naik lagi menjadi 20–25%
  • Tahun 2028: mencapai target 30%

Dampak Kenaikan Free Float bagi Emiten

1. Emiten Harus Melepas Saham Tambahan ke Publik

Bagi perusahaan dengan free float rendah, peningkatan batas minimum akan memaksa mereka untuk menjual sebagian saham pengendali atau melakukan penawaran sekunder (secondary offering).

Ini bisa menjadi tantangan bagi perusahaan keluarga atau grup konglomerat yang selama ini ingin menjaga kontrol ketat.

2. Potensi Penurunan Harga Jangka Pendek

Jika banyak emiten secara bersamaan melepas saham ke publik, bisa terjadi tekanan jual di pasar yang menekan harga jangka pendek.
Namun, dalam jangka panjang, efek ini akan terkompensasi oleh peningkatan likuiditas dan kepercayaan investor.

3. Akses Pendanaan yang Lebih Besar

Dengan free float lebih besar, perusahaan dapat lebih mudah menggalang dana tambahan di pasar modal, baik melalui right issue maupun penerbitan obligasi.

4. Meningkatkan Citra dan Kepercayaan Investor

Emiten dengan free float tinggi akan dianggap lebih transparan dan terbuka. Hal ini bisa meningkatkan reputasi serta menurunkan risiko persepsi investor.


Dampak bagi Investor

a. Likuiditas dan Akses Lebih Baik

Investor ritel dan institusi akan mendapat manfaat dari pasar yang lebih aktif. Spread harga akan mengecil, dan transaksi lebih efisien.

b. Potensi Diversifikasi Portofolio

Lebih banyak saham akan menjadi menarik untuk dikoleksi karena likuiditasnya meningkat. Investor tidak hanya fokus pada saham big cap seperti BBCA, BBRI, atau TLKM.

c. Risiko Transisi

Di sisi lain, investor perlu waspada terhadap volatilitas jangka pendek selama masa transisi ketika banyak emiten melepas sahamnya ke pasar.


Perbandingan Internasional

Sebagai perbandingan, berikut minimum free float di beberapa negara Asia:

NegaraMinimum Free FloatKeterangan
Singapura25%Standar SGX Mainboard
Malaysia25%Wajib bagi emiten publik
Thailand20–30%Tergantung sektor
Filipina15–20%Target naik menjadi 25%
Indonesia7,5% (sekarang)Usulan naik ke 30%

Terlihat jelas bahwa Indonesia berada di posisi paling rendah.
Jika usulan DPR ini disetujui, Indonesia akan sejajar dengan Malaysia dan Singapura dari sisi struktur free float.


Tantangan Implementasi

  1. Struktur Kepemilikan yang Terkonsentrasi
    Banyak perusahaan di Indonesia masih dikendalikan oleh keluarga atau grup tertentu dengan kepemilikan di atas 80%. Mereka cenderung enggan melepas kontrol.
  2. Keterbatasan Investor Domestik
    Jumlah investor aktif masih sekitar 12 juta, dan mayoritas adalah ritel kecil. Jika banyak saham baru masuk pasar tanpa peningkatan basis investor, bisa terjadi oversupply.
  3. Kesiapan Regulasi
    OJK dan BEI perlu menyiapkan pedoman yang jelas, termasuk insentif (misalnya pengurangan biaya pencatatan) dan sanksi bagi yang tidak patuh.
  4. Potensi “Window Dressing” Free Float
    Beberapa emiten bisa saja menaikkan free float hanya secara formal, misalnya dengan memindahkan saham ke pihak afiliasi tanpa benar-benar beredar di publik. Pengawasan ketat diperlukan untuk mencegah hal ini.

Kesimpulan: Arah Baru Pasar Modal Indonesia

Usulan DPR untuk menaikkan minimum free float menjadi 30% merupakan langkah strategis menuju pasar modal yang lebih likuid, inklusif, dan kredibel secara global.
Kebijakan ini bisa menjadi katalis penting untuk mendorong kapitalisasi pasar BEI menembus level baru dan memperluas partisipasi investor publik.

Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada:

  • Tahapan implementasi yang realistis
  • Kesiapan emiten dan investor
  • Pengawasan yang ketat dari OJK dan BEI

Jika diterapkan dengan hati-hati, kebijakan ini tidak hanya akan memperkuat pasar modal Indonesia, tetapi juga membantu transformasi ekonomi nasional menuju basis pembiayaan yang lebih modern dan transparan.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *